Kamis, 31 Januari 2013

Teori Pers di Indonesia



KATA PENGANTAR

Pertama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada kita. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, beserta sahabat dan keluarganya, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
                Kami penyusun makalah, alhamdulillah telah berhasil menyelesaikan makalah “Sistem Komunikasi Indonesia” tentang “Teori pers yang dianut oleh Negara Indonesia”. Dan makalah ini kami ajukan sebagai tugas untuk melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa.
                Semoga dengan tersusunnya makalah ini, diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami bagaimana perkembangan teori pers yang dianut oleh Negara Ondonesiia yang disertai dengan kasus yang akan dibahas dimana sesuai dengan teori pers yang akan dibahas.
                Kami menyadari bahwa penulisan dan penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu adanya masukan, pendapat, maupun kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan. Semoga hasil makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan mendapat ridho Allah SWT. Amin.

Samarinda, 03 Oktober 2012  
          
               
                               
Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………………………………………………  ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………………………………….  iii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………………………………………………   1
A.      Latarbelakang ………………………………………………………………………………………………………….    1
B.      RumusanMasalah ……………………………………………………………………………………………………..   1
C.       Tujuan ……………………………………………………………………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………………………………………………… 2
A.      Sejarah Pers ………………………........................................................................................................................  2
B.      Fungsi dan Peranan Pers ………..................................................................................................................... 4
C.       Perkembangan Pers yang Dianut oleh Indonesia ................................................................................ 5
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………………………………………………… 9
        Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………………………….  9
Saran …………………………………………………………………………………………………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………………………………………………….. 10



BAB I
PENDAHULUAN
  
A.     Latar belakang
            Pers adalah lembaga kemasyarakatan, sebagai lembaga kemasyarakatan, pers merupakan subsistem kemasyarakatan tempat ia berada bersama dengan subsistem lainnya. Dengan demikian maka pers tidak hidup secara mandiri, tetapi dipengaruhi oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lain. Bersama-sama dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya itu, pers berada dalam keterikatan organisasi yang bernama negara, karenanya pers dipengaruhi bahkan ditentukan oleh falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu hidup. Pers di negara dan di masyarakat tempat ia berada bersama mempunyai fungsi yang universal. Akan tetapi, sejauh mana fungsi itu dapat dilaksanakan bergantung pada falsafah dan sistem politik negara tempat pers itu beroperasi.
            Pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik di dalam mana ia beroperasi. Terutama, pers mencerminkan sistem pengawasan sosial dengan mana hubungan antara orang dan lembaga diatur. Orang harus melihat pada sistem-sistem masyarakat dimana per situ berfungsi. Untuk melihat sistem-sistem sosial dalam kaitan yang sesungguhnya dengan pers, orang harus melihat keyakian dan asumsi dasar yang dimiliki masyarakat itu : hakikat manusia, hakikat masyarakat dan Negara, hubungan antar manusia dengan Negara, hakikat pengetahuan dan kebenaran. Jadi pada akhirnya perbedaan pada sistem pers adalah perbedaan filsafat.
            Pers sebagai sebuah keran untuk menyalurkan, untuk mewujudkan kebebasan itu sudah pasti tentunya harus mendapatkan porsi jaminan yang besar. Dalam mewujudkannya setiap negara pastilah memiliki latar belakang dan cita-cita yang berbeda, ini pulalah yang setidaknya berdampak pada differensiasi pedoman dan aktualisasi peran negara dalam menjamin terus berjalannya sistem – pers yang dipergunakan. Untuk hal yang satu ini Indonesia terbilang berbeda dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang cenderung mengikuti teori-teori para ahli terkemuka. Indonesia “sekali lagi” mempergunakan nama Pancasila untuk mendefinisikan sistem pers yang dianutnya. Seolah terlihat begitu sakral begitu nama Pancasila dilekatkan.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah sejarah pers?
2.      Bagaimana fungsi dan peranan pers di Indonesia?
3.      Bagaimana perkembangan dari sistem pers yang dianut oleh Indonesia?

C.     Tujuan
1.      Mengetahui sejarah pers
2.      Mengetahui fungsi dan peranan pers di Indonesia
3.      Mengetahui perkembangan dari sistem pers yang dianut oleh Indonesia

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Sejarah Pers
Pers di Indonesia mulai berkembang jauh hari sebelum negara Indonesia diproklamasikan. Pers telah dipergunakan oleh para pendiri bangsa kita sebagai alat perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan.
Sejak pertengahan abad ke 18, orang-orang Belanda mulai memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Penguasa kolonial mengekang pertumbuhan pers, meskipun penerbitnya terdiri dari orang-orang Belanda sendiri. Tetapi surat kabar yang tumbuh dari akhir abad ke 19 hingga awal abad berikutnya, juga merupakan sarana pendidikan dan latihan bagi orang-orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan di dalamnya (Tribuana Said, 1988). Surat kabar pertama di Indonesia adalah Bataviase Nouvelles (Agustus 1744 – Juni 1746), disusul kemudian Bataviasche Courant (1817), Bataviasche Advertentieblad (1827). Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa, bernama Bromartani. Surat kabar berbahasa Melayu yang pertama adalah Soerat Kabar Bahasa Melajoe, terbit di Surabaya pada tahun 1956. kemudian lahir surat kabar Soerat Chabar Betawie (1958), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timoer (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta 1864), dan Biang Lala (Jakarta, 1867). Perkembangan pers di masa penjajahan sejak pertengahan abad ke 19 ternyata talah dapat menggugah cendekiawan Indonesia untuk menyerap budaya pers dan memanfaatkan media cetak sebagai sarana membangkitkan dan menggerakkan kesadaran bangsa.
Dalam proses selanjutnya, terjadilah pembauran antara pengasuh pers dan masyarakat yang mulai terorganisasi dalam klub-klub studi, lembaga-lembaga sosial, badan-badan kebudayaan, bahkan gerakan-gerakan politik. Wartawan menjadi tokoh pergerakan, atau sebaliknya tokoh pergerakan menerbitkan pers. Sejak lahirnya Budi Utomo pada bulan mei 1908, pers merupakan sarana komunikasi yang utama untuk menumbuhkan kesadaran nasioal dan meluaskan kebangkitan bangsa Indonesia. Pada gilirannya proses tersebut mengukuhkan gerakan mencapai kemerdekaan. Lahirlah surat-surat kabar dan majalah seperti Benih Merdeka, Sora Ra’jat Merdika, Fikiran Ra’jat, Daulat Ra’jat, Soeara Oemoem, dan sebagainya, serta organisasi Persatoean Djoernslis Indonesia (1933) adalah tanda-tanda meningkatnya perjuangan kemerdekaan di lingkungan wartawan dan pers nasional sebagai bagian dari perjuangan nasional secara keseluruhan.
Antara awal kemerdekaan dan sepanjang masa demokrasi terpimpin hingga menjelang Orde Baru tahun 1966, kehidupan politik, terutama dunia kepartaian, sangat berpengaruh terhadap perkembangan pers nasional. Pola pertentangan antara kelompok pemerintah dan kelompok oposisi dalam dunia kepartaian juga ditumbuhkan dalm dunia pers, sehingga timbul di satu pihak pers pendukung pemerintah (tepatnya prokabinet) dan di lain pihak pers oposisi. Konfigurasi sikap dan kedudukan pers berubah berbarengan dengan terjadinya perubahan pada konfigurasi politik kepartaian dan pemerintahan. Bahkan sebagian pers memilih pola pers bebas seperti di negara liberal, dengan kadar kebebasan dan persepsi tanggung jawab yang banyak ditentukan oleh wartawan masing-masing. Kondisi pers nasional tergambarkan di atas berlaku dalam masa perjuangan mempertahan kemerdekaan antara tahun 1945 – 1949 dan dalam masa pemerintahan parlementer antara tahun 1950 – 1959. ekses-ekses dari kondisi tersebut di atas adalah pemberontakan-pemberontakan bersenjata, ketidak stabilan sistem pemerintahan, penodaan kebebasan pers, danlain-lain.
Meskipun sistem parlementer telah terkubur sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, pola pertentangan partai-partai masih bertahan. Bahwa pada masa demokrasi terpimpin , wartawan Indonesia umumnya, PWI (didirikan pada 9 Februari 1946) khususnya, tetap berpegang teguh pada dasar negara Pancasila, tidak terlepas dari latar belakang dan landasan lhirnya gerakan kemabali UUD 1945. Yaitu, pertentangan dan perlawanan terhadap golongan yang ingin menciptakan undang-undang dasar berdasarkan asas dan dasar negara yang lain. Tetapi, karena kepentingan Manipolisasi dan Nasakomisasi yang semakin menonjol, terutama akibat agitasi dan propaganda golongan PKI yang ingin memperbesar pengaruhnya dalam rangka merebut kekuasaan, maka ideologi Pancasila semakin terdesak oleh konsep-konsep revolusi.
Orde Baru bangkit sebagai puncak kemenangan atau rezim Demokrasi Terpimpin yang pada hakikatnya telah dimulai sejak tahun 1964 tatkala kekuatan Pancasila, termasuk pers, mengadakan perlawanan terbuka terhadap ofensif golongan PKI melalui jalur Manipolisasi dan Nasokomisasi. Kehancuran G30S/PKI merupakan awal ’pembenahan’ kehidupan nasional, pembinaan di bidang pers dilakukan secara sistematis dan terarah. Pada masa ini produk perundangan pertama tentang pers adalah UU no 11 tahun 1966. pengembangan pers nasional lebih lanju diwujudkan dengan mengundangkan UU no 21 tahun 1982 sebagai penyempurnaan UU no 11/1966. Penciptaan lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUUP) mencerminkan usaha nyata ke arah pelaksanaan kebebasan pers yang dikendalikan oleh pemerintah atau kebebasan pers yang bertanggung jawab pada pemerintah, suatu bentuk pengadopsian terhadap teori pers otoriter.
Terlepas dari kritik terhadap konsep penerbitan untuk mengatasi represi politik, pada tahun 1980-an banyak surat kabar yang menyesuaikan kebijakannya pada sistem politik yang berlaku (Hermawan Sulistyo, dalam Maswadi Rauf 1993). Surat kabar bukan hanya dipahami sebagai saluran kegiatan politik, namun juga sebagai saluran kegiatan ekonomi, budaya, soial, dan sebagainya. Ukuran ekonomi tampak dari penerbitan pers yang melihat hal ini sebagai lapangan bisnis. Karena alihan konsep ini, banyak kalangan pers yang kemudian menghindari ’wilayah rawan’ dengan membuka segmen pembaca baru. Fenomena yang paling mencolok ialah menjamurnya jumlah media yang berebut pangsa pasar di kalangan pembaca wanita. Kelompok Femina, misalnya, juga mengelola Ayahbunda, Gadis, dan Sarinah Group. Kelompok Gramedia juga terlihat menghindari ’daerah rawan’ dengan mengelola Nova, Hai, Intisari, Tiara, Bola, Bobo, dan sebagainya.
Kemudian pada tahun 1998, lahirlah gerakan reformasi terhadap rezim Orde Baru. Keberhasilan gerakan ini, melahirkan peraturan perundangan-peraturan perundangan sebagai pengganti peraturan perundangan yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. UU no 40 tahun 1999 merupakan salah satu contoh. Sejak sistem politik Indonesia mengundangkan UU no 40 tahun 1999, secara normatif, kita telah menganut teori pers tanggungjawab sosial (kebebasan pers yang bertanggung jawab pada masyarakat/kepentingan umum). Berbeda dengan UU no 11 tahun 1966 juncto UU no 21 tahun 1982 yang memberi kewenangan pada pemerintah untuk mengontrol sistem pers, UU no 40 tahun 1999 memberi kewenangan kontrol kepada masyarakat. Penanda itu terletak antara lain pada pasal 15 dan 17 UU no 40 tahun 1999.
UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya. Dalam menghadapi pers yang nakal, kita tidak bisa begitu saja berpendapat bahwa ketidakpuasan terhadap pers dapat dilakukan melalui protes, klarifikasi maupun koreksi terhadap penerbitan pers karena masyarakat dapat menggunakan haknya untuk menggugat ke pengadilan.

B.     Fungsi dan Peranan Pers
            Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Dalam pengertian luas, pers mencakup semua media komunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak.
Dalam Undang-undang No. 40 Tahun 1999 Pasal 3 disebutkan mengenai fungsi pers, dalam hal ini pers nasional. Adapun fungsi pers nasional adalah sebagai berikut :
a.       Sebagai wahana komunikasi massa. Pers nasional sebagai sarana berkomunikasi antarwarga negara, warga negara dengan pemerintah, dan antarberbagai pihak.
b.      Sebagai penyebar informasi. Pers nasional dapat menyebarkan informasi baik dari pemerintah atau negara kepada warga negara (dari atas ke bawah) maupun dari warga negara ke negara (dari bawah ke atas).
c.       Sebagai pembentuk opini. Berita, tulisan, dan pendapat yang dituangkan melalui pers dapat menciptakan opini kepada masyarakat luas. Opini terbentuk melalui berita yang disebarkan lewat pers.
d.      Sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta sebagai lembaga ekonomi.

Fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial :
·         Fungsi informasi, masyarakat berlangganan atau membeli surat kabar karena memerlukan informasi mengenai berbagai hal.
·         Fungsi pendidikan, pers sebagai sarana pendidikan massa (mass education), memuat tulisan tulisan yang mengandung pengetahuan sehingga masyarakat bertambah pengetahuan dan wawasannnya.
·         Fungsi menghibur, hal yang bersifat menghibur sering di muat pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot.
·         Fungsi kontrol sosial, terkandung dalam makna demokratis yang didalmnya terdapat unsur sosial participation, sosial responcibility, sosial support, sosial control.

            Pers nasional sesuai dengan pasal 6 UU No. 40 Tahun 1999, menyebutkan  peranan pers sebagai berikut:
a.       memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b.      menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, hak asasi manusia, saling menghormati kebhinekaan
c.       mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
d.      melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
e.       memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

C.     Perkembangan Pers yang Dianut oleh Indonesia
Perubahan membawa warna baru dan  paradigma baru dalam pers. Perubahan dari beralihnya kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun, membuat Pers “Terbelenggu” seakan-akan Tangan diborgol, Kaki diikat dan mulut disumpal. Pers dibuat tak berkutik selama Soeharto memegang sistem pemerintahan. Pembredelan menjadi satu hal yang menakutkan. Harian Sinar Harapan jadi korban, akibat lebih awal memberitakan kebijakan pemerintah di sector industry. (PERS AUTHORITARIAN)
Harian Merdeka yang memberitakan “Pangdam III Siliwangi Akan Buka Seminar Porkas” hasil wawancara dengan” Srigala Jawa Barat”, Djadja Subagja Husein almarhum, masih untung tidak dibinasakan oleh Komkaptib waktu itu. Tapi koresponden media cetak politik dan olahraga paling popular ketika itu Erry Budianto di Bandung Jawa Barat, dipaksa untuk menerima sanksi skorsing tiga bulan yang “menyakitkan”. (KASUS PERS AUTHORITARIAN)
Masih banyak lagi contoh kasus yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh penguasa di jaman Orde Baru (Orba) ketika itu. Pelanggaran Hak Asasi Manusia  (HAM) menjadi hal yang biasa dan dianggap “lumrah” waktu itu. Mungkin lebih baik kondisinya disaat Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI di jaman Orde Lama (Orla). Kebebasan Pers masih ada meskipun sedikit daripada tidak ada sama sekali di era almarhum Jenderal  Besar TNI Soeharto berkuasa.
Kebebasan pers di Indonesia terlihat lebih mengemuka pada saat pemerin­tahan sedang mengalami krisis, dimana kontrol pemerintah sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Hal ini terlihat pada era Revolusi Fisik, era kabinet parlementer yang mengalami enam kali pergantian kabinet, dan awal pemerintahan rezim Orde Baru saat terjadi kekacauan dan perpecahan dalam tubuh pemerintah. Pada era-era krisis pemerintahan ini pers Indonesia cenderung menganut paham Libertarian.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang ditandatangani Presiden RI BJ.Habibie, memberikan “Nafas Kemerdekaan” yang luar biasa bagi insan Pers Indonesia dari Nangroe Aceh Darussalam sampai ke Papua. (PERS LIBERTARIAN)
Pertimbangan lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 ini antara lain kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.(alinea a UU Pers No.40/1999).
Pertimbangan lainnya pada alinea b menyebutkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteran umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pada alinea c dikemukakan bahwa pers nasional sebagai  wahana komunikasi massa, penyebar informasi dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang professional. Sehingga harus mendapatkan jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.
Alinea d merupakan pertimbangan yang sangat penting atas kebebasan pers dewasa ini. Pada bagian ini ditegaskan, pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Perlu dirumuskan istilah bertanggung jawab, yaitu semua tindakan pembatasan terhadap pers yng didasari prinsip tanggungjawab sosial pers harus berlandaskan peraturan hukum yang dibuat secara demokratis.
Sistem tanggungjawab sosial didasari pemikiran bahwa kebebasan pers harus memikul kewjiban secara beriringan dan pers bertanggungjawab pada masyarakat dalam melaksanakan fungsinya.
Tahun 1947 sekelompok filsuf, ilmuwan, akademisi, tokoh budaya, agama dan pendidikan membentuk The Hutchins Commision on Freedom of The Press. Mereka menyeru agar pers dibebani kewajiban untuk fair, responsible, dan accurate. Mereka mengharapakn munculnya ekspresi yang bertanggungjawab di media setelah perang dunia kedua berakhir (Syah, 1999). Seruan ini dicatat sebagai tonggak awal lahirnya sistem tanggung jawab sosial pers, ditandai antara lain munculnya beragam kode etik pers, baik atas inisiatif pekerja pers sendiri maupun dari kelompok-kelompok independen dalam masyarakat.
Pada saat itu Indonesia resmi menganut sistem pers yang bebas dan bertanggungjawab. Konsep ini mengacu ke teori "pers tanggung jawab sosial." Asumsi utama teori ini adalah bahwa kebebasan mengandung di dalamnya suatu tanggung jawab yang sepadan. Maka pers harus bertanggungjawab pada masyarakat dalam menjalankan fungsi-fungsi penting komunikasi massa dalam masyarakat modern. Namun dalam prakteknya, pers harus bertanggungjawab pada pemerintah. (PERS TANGGUNGJAWAB SOSIAL)
Istilah Pers Pancasila pertama kali dikemukakan oleh M. Wonohito, seorang wartawan senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984. Dalam pembahasannya nonohiti menyinggung disamping empat teori pers, bolehlah ditambahkan satu sistem yaitu pancasila pers theory sebab falsafah pancasila melahirkan  teori pers sendiri, yang tidak termasuk dalam 4 teori pers itu sendiri.
Dalam Sidang Pleno XXV di Surakarta, Dewan pers memutuskan mengenai pers Indonesia adalah pers pancasila dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 45. Pers pembangunan adalah pers pancasila dalam arti mengamalkan pancasila dan UUD 45 dalam pembagunan berbagai aspek kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakikat pers Pancasila adalah pers yang sehat, yakni yang pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran aspirasi rakyat dan kontrol sosial kontruktif. Pers Pancasila selalu mengedepankan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dalam pemberitaan, sehingga tercipat keharmonisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang pada gilirannya akan terwujud masyarakat madani Indonesia. (PERS PENCASILA).
Pengaruh pers luar biasa sekali, bisa menghitam-putihkan publik figure, kelompok,  politikus, pengusaha dan birokrat. Karena itu munculnya Jurnalis Kotor yang terkontaminasi  pengaruh kehidupan yang serba materialistis saat ini tidak bisa dihindari. Seiring dengan munculnya Polisi Kotor, Jaksa Kotor, Hakim Kotor, Pengacara Kotor,  Birokrat Kotor, Legislatif Kotor, Politikus Kotor, Pengusaha Kotor, LSM Kotor dan sebagainya.
Pers Pancasila yang idealis dan professional, kini nampaknya sudah tidak menarik lagi. Sebab seiring dengan masuknya paham asing, maka “dunia pers kapitalis” yang rakus, tamak, kejam dan tak memiliki hati nurani sedang mewarnai kehidupan pers nasional saat ini. Kini Dunia Pers  sudah menjadi  “industry” yang memiliki modal kuat itulah yang menang. (PERS KAPITALIS)
Padahal pengertian Pancasila yang diambil dari bahasa Sansekerta berarti Lima Dasar atau lima sendi, sangat bermakna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  Maksudnya Dasar Negara RI adalah Lima Sendi pokok sebagai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Sistematika  Falsafah Bangsa Indonesia ini jika kita simak secara mendalam,” Tak lekang karena perubahan jaman”  dan masih relevan untuk era Globalisasi dewasa ini menuju dunia “tanpa batas”. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Ke dua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradad. Ke tiga, Persatuan Indonesia. Ke empat, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/ Perwakilan. Dan ke lima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Jika kita simak dari isi Bab I Pasal 1 ayat 1 UU Pers Nomor 40/1999, maka dijelaskan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
Artinya, pers nasional  di era sejagat ini memperoleh kebebasan luar biasa dalam menjalankan  profesinya di negeri  Pancasila ini ? Atau di Negara yang sudah menganut paham Neo Liberalisme ini ?
Pada Pasal 1 ayat 2 Bab I tertulis pula bahwa perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik dan kantor berita serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.
Lahirnya UU Pers Nomor 40/1999 ini memberikan “Napas Kebebasan” yang sangat hakiki dan manusiawi kepada insan pers di tanah air. Maka bermunculan media-media cetak dalam bentuk mingguan, tabloid, majalah bulanan, media radio, televise, media online. Bahkan sejumlah orang yang memiliki kelebihan materi dalam hal keuangan seperti  Kelompok Bakrie, Lippo Gorup, RCTI Group/MNCTV Group, Jawa Pos Gorup, Kompas Group, Media Indonesia Group, meramaikan kebebasan pers ini dengan “Nuansa kapitalis” yang sangat kental.
Abu Rizal Bakrie atau yang akrab disapa Ical yang juga Ketua Umum Partai Golkar selain memiliki Stasiun TV Swasta juga mengelola Harian Sore Surabaya Post, Harian Nusa (Nusa Tenggara) dan sejumlah Koran harian di Jakarta. Gak mau ketinggalan, Harry Tanoe Soedibyo Bos MNCTV dan RCTI, memasarkan Koran Seputar Indonesia (Sindo) edisi nasional dan edisi Jawa Barat serta edisi lainnya. Begitu juga Lippo Group, meluncurkan sejumlah media cetak  bisnis ekonomi.
Jangan ditanya Dahlan Iskan Bos Jawa Pos Group yang kini ketiban rejeki sebagai  Menteri BUMN meramaikan negeri ini dengan media cetak dengan nama Radar Bandung,Radar Bogor,  Radar Denpasar, Radar Medan dan hampir setiap kota didirikan Koran Radar. Tidak puas dengan versi radar, mantan Dirut PLN ini juga meluncurkan Koran dengan nama Ekspres seperti  Sumedang Ekspres, Bandung Ekspres yang ingin mentransfer sukses Sumatera Ekspress (Sumex) yang terbit di Palembang.
Yang menarik, penulis otobiografi Bos Bank NISP Karmaga Suryaudaya ini juga melakukan kerjasama dengan Koran-koran daerah. Misalnya Harian Fajar di Makasar dan beredar luas di Sulsel. Selain itu konsep kerjasama versi Jawa Pos Group ini juga menembus Jakarta dengan kerjasama bersama BM Diah almarhum memanage Harian Merdeka.
Kerjasama ini selain merekrut seluruh wartawan Merdeka, karyawan percetakan sampai Satpam. Tapi, entah bagaimana, join ini putus dan Dahlan Iskan menerbitkan Koran Rakyat Merdeka yang nampaknya menjadi bacaan wajib para politikus di negeri ini. Nasib SIUP Harian Merdeka sendiri, tidak diketahui berada ditangan siapa saat ini setelah munculnya kasus Antasari Azhar yang menghebohkan upaya pemberantasan korupsi di Negara yang terkenal korup ini.
Bahkan  PT.Telkom Tbk yang gencar-gencarnya melakukan transformasi Bisnis TIME untuk mendongkrak pendapatan BUMN “Merah Putih” Telkom  juga memiliki Majalah Bulanan “KILAU” yang bekerjasama dengan pihak ke tiga dan memasang alamat Kebayoran Center Blok A11 – A15, Kebayoran Baru, Mayestik Jakarta Selatan.
Jakob Utama Bos Kompas Group, juga tidak mau ketinggalan menyemarakkan kebebasan pers saat ini dengan membuat Koran-koran daerah dengan label  Tribun seperti Tribun Jambi, Tribun Jabar, Tribun Jatim, Tribun Sumut, Tribun Jateng dsb. Bahkan setelah melepas TV7 ke TransTV dan mendirikan KompasTV.  Kompas Group yang memiliki berbagai  network usaha seperti  media online, hotel, penginapan, penerbitan dan toko-toko buku ini  sangat jeli melihat peluang bisnis di negeri  ini.
Media Indonesia Gorup selain memiliki Stasiun TV Berita ternama Metro TV juga mempunyai  Harian Lampung Pos. Sementara Bisnis Indonesia, nampaknya masih “mengerem” dengan hanya punya Koran daerah Solo Pos.
Raja-Raja Duit yang identik sebagai Raja-Raja Media ini membuat  Munas SPS di Bali bukan mengedepankan upaya “pembinaan” pers kecil  di pusat (Jakarta) maupun di daerah, tapi secara sadar atau tidak sadar telah melakukan “pembinasaan” media-media kecil yang seharusnya dibina di Negara yang memiliki falsafah Pancasila ini. Pertemuan di Bali itu terkesan hanya membahas bagaimana mencetak  pendapatan dari “kue iklan” yang fantastis di kemudian hari.
Sementara Koran-koran kecil  terpaksa mengikutsertakan jurnalisnya untuk ikut memasarkan korannya agar tetap bisa terbit lagi esoknya. Maka, tidaklah aneh jika setiap sekolah di Kabupaten Bandung Jawa Barat, terpaksa berlangganan Koran sampai 17 penerbitan. Baik itu Koran harian, mingguan dan tabloid. Salah siapa?
Kasus  sekolah berlangganan media cetak sampai belasan itu tentunya tidak sehat lagi dan sangat ironis di saat kebebasan pers datang dengan lahirnya Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999,  memunculkan “raja-raja media” yang jelas-jelas menganut sistem kapitalis untuk mengembangkan jaringan usahanya. (KASUS PERS KAPITALIS)


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan :
Pendapat yang mengemukakan bahwa “sistem media di satu negara, mencermin­kan sistem pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan” terbukti berlaku pula di Indonesia. Sistem pemerintah yang mengalami beberapa kali perubahan, amat berpengaruh terhadap kebebasan pers di Indonesia.
Kebebasan pers yang demikian besar tersebut sering kali kebablasan. Sehingga menimbulkan berbagai ekses yang merugikan masyarakat maupun pers, seperti pelaggaran asas praduga tak bersalah, pencemaran nama baik. Dengan demikian beberapa media hanya mencari berita yang sensasional, bahkan tidak jarang kita sering lihat berita gosip seputar keluarga artis, dan bahkan juga ada media yang mengeksploitasi berita kekerasan dan pornografi.
Kebebasan berpendapat memang sudah diatur di UU pers tapi dalam sebuah kebebasan alangkah baiknya kita selipkan etika-etika untuk mengawal pers agar tetap pada norma dan UU pers yang sudah ditetapkan. Dengan demikian kemerdekaan pers memang merupakan sarana pemenuhan hak asasi manusia, yaitu hak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Namun para pekerja pers perlu menyadari adanya tanggung jawab sosial yang tercermin melalui pelaksana kode etik profesi secara jujur dan bertanggung jawab.

Saran :
Nampaknya dengan begitu mudah dan gampangnya,  sistem  Kapitalis merasuk dunia pers nasional di era sejagat ini adalah sangat bijak bilamana UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 direvisi agar tidak “kebablasan” reformasi yang melanda negeri kita ini. Misalnya, memasukkan unsur lain seperti pembatasan penerbitan media massa pada Bab IV Pasal  9 Perusahaan Pers di mana disebutkan Setiap warga Negara Indonesia dan Negara berhak mendirikan perusahaan pers dan setiap perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.
Agar sila ke dua dari Pancasila dapat ikut “mengerem” nafsu “raja-raja media” itu revisi UU Pers No.40/1999 perlu dijabarkan dan ditambahkan dalam UU ini yang menggambarkan Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Begitu juga sila ke lima dari Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebab sangat menyesakkan melihat “mengguritanya” ketamakan, rakus dan kejamnya, raja-raja media ini. Hilang sudah rasa kemanusiaannya.


DAFTAR PUSTAKA

Drs. Amir Effendi Siregar, MA.2005. Kebebasan Pers & Kode Etik Jurnalistik. Yogakarta. Uli Press